Cerpen Kurnia Effendi dan M. Iksaka Banu
Dimuat di Jurnal Nasional (06/13/2010)
Sebuah pagi yang gelisah. Syafei mengayuh sepeda dengan lekas, melewati jalan pintas. Matanya menatap tajam, terkurung kelopak cekung. Ada jam-jam panjang tak terpejam yang tak tersembunyikan.
Memasuki halaman biro, ia menghentikan sepedanya seraya melompat turun. Seiring kakinya menapak tanah berkerikil, kedua tangannya telah melepas stang sepeda yang bersandar pohon. Ia tahu bahwa keberangkatannya yang tak memenuhi aturan biro, akan memperoleh masalah. Kedatangannya, seperti yang sudah tersimpan dalam dugaan, akan mendapat sambutan di pintu depan. Bukan sambutan yang nyaman, karena di hadapannya kini menunggu sepasang mata penuh amarah yang cukup rapi dalam kendali.
"Selamat pagi, Kang," Syafei mengucap salam. Ia menyadari sedang berbaku pandang dengan atasan.
"Ke mana saja selama tiga hari ini?" Suara Syamsudin seperti berasal dari rekahan es.
"Saya banyak urusan yang tak dapat ditinggalkan." Mata letih Syafei memandang lurus ke wajah Syam; raut muka bangsawan yang disegani.
"Bukankah urusan yang tak dapat ditinggalkan ada di kantor ini?"
"Saya tahu..."
"Jadi, ada yang lebih penting?"
Syafei terdiam sejenak. Bagaimanapun ia tak berencana berdusta. Memang ada hal-hal di luar urusan biro yang kini sedang dalam perhatiannya.
"Menurut saya ada yang lebih penting. Maaf telah mengabaikan pekerjaan."
Syafei menjawab dengan suara rendah. Hatinya gelisah. Seperti tercermin pada pagi yang tidak sanggup mempertahankan cuaca basah.
"Aku banyak mendengar kegiatanmu. Aku tahu kamu sering mengikuti pertemuan Radicale Concentratie. Sebetulnya aku tak mau ikut campur, kalau saja pekerjaan dari Johan Romita kamu bereskan."
Syafei hampir mendengus mendengar nama itu disebut. "Saya akan selesaikan..."
"Seharusnya sudah selesai seminggu yang lalu! Aku mau menunggu, tetapi kamu alpa. Tanpa meninggalkan catatan apa pun."
"Kang," Syafei kini menatap lurus mata Syamsudin. "Saya tak pernah mengerti, apa maunya musisi arogan itu. Berulang kali ia meminta perubahan gambar. Para juru gambar mengeluh oleh sikapnya yang seolah-olah tahu segala hal. Permintaannya sering tak masuk akal."
"Dengar, Pi'i!" Suara Syamsudin mulai meninggi. "Untuk mengikuti keinginan itulah kita dibayar!"
Syafei ingin meludah mendengar argumen murahan itu.
"Jangan lagi menyebutnya arogan. Dia memang tahu banyak hal. Kukira kita yang harus mengikuti kemauannya. Jika kamu kesulitan, bicarakan denganku. Bukan disepelekan, sementara anak buahmu tidak tahu bagaimana melanjutkannya..."
Syafei memberi isyarat dengan tangannya. "Saya tak ingin berdebat. Saya datang hari ini untuk merampungkan pekerjaan." Syafei melanjutkan langkahnya menuju ruang gambar.
"Dasar anak setan!" gumam Syamsudin sepeninggal Syafei. Ia merasakan ruang tamu menjadi sangat gerah.
Di ruang gambar, meja Syafei segera didatangi dua orang juru gambar. Mereka membawa dokumen terakhir yang mengandung banyak coretan. Ia hafal tulisan Syamsudin. Ia tahu, dalam ketidakhadirannya di biro, Johan Romita datang untuk melihat rancangan paviliunnya. Perbaikan yang dijanjikannya belum selesai. Banyak pesan yang kemudian dituliskan pada kertas gambar itu.
***
Mungkinkah sebuah kesalahan ketika sepasang mata dan segumpal hati menemukan tafsir baru tentang nasionalisme? Syafei merasa sedang bertemu dengan wujud abstrak yang diimpikan selama ini.
Ia begitu kagum dengan sosok pemuda bernama Soekarno. Kadang-kadang ia mendengarnya sebagai Kusno. Pemuda itu baru saja atau setahun yang lalu lulus dari THS. Pemuda itu memang tidak sendirian. Konon sudah lajak sejak menjadi siswa HBS di Surabaya. Ada sejumlah teman di sekelilingnya. Dengan mata batin, ia telah melihat semacam potongan magnet yang mampu mengisap benda-benda di sekitarnya.
Perumpamaan serupa magnet tentu dekat dengan ungkapan "orang pilihan". Benda-benda yang terisap bukanlah sembarang barang, melainkan yang terbikin dari logam. Maka dapat dikatakan bahwa teman-temannya adalah orang-orang pilihan juga.
Dengan rasa haru tersendiri, Syafei ingin sekali menjadi teman Soekarno. Pasti akan sangat menyenangkan bercakap-cakap dengan pemuda itu. Saat berkumpul dengan kawan-kawan dalam Radicale Consentratie, banyak semburan gagasan, terutama tentang kebebasan yang selama ini selalu terpendam. Fajar hampir menyingsing. Pikiran bahwa semua orang memiliki hak yang sama, memiliki pula kewajiban yang sama, serupa ilmu baru yang selama ini sembunyi.
Semua harus diwujudkan dalam kebersamaan. Setiap satu orang dengan yang lain harus saling berhubungan sosial. Memikirkan satu sama lain. Tidak ada penindasan. Tidak ada perbedaan atau rasialisme. Jadi... alangkah biadabnya bangsa yang merendahkan bangsa lain. Sebutan inlander yang dipersamakan dengan anjing untuk larangan menggunakan fasilitas, sungguh di luar perikemanusiaan. Letik api itu, yang belum terbentuk wujudnya sebagai pemikiran utuh, sedang membangun kobarannya dalam dada Syafei. Kekaguman terhadap buah pikiran kaum muda itu membuat Syafei memandang suram seluruh masa lalunya, terutama serentang waktu yang dihabiskannya di biro ini.
Bedebah!
Itu pula yang membuat seluruh pekerjaan di biro menjadi barang yang menjijikkan. Saat bicara dengan stafnya, Syafei tidak menunjukkan gairah. Geram menyelubungi benaknya. Tetapi, ia berusaha keras untuk berjiwa kesatria. Setidaknya untuk sebuah ikrar kerja. Ia mesti sanggup memisahkan urusan pribadi dengan tugas yang telah disepakati. Satu hal yang selalu membuatnya berang adalah sikap Johan Romita yang merasa paling pintar dan paling berkuasa.
Sejenak Syafei merasa dirinya anjing yang hina dina.
Ia segera memberikan beberapa petunjuk kepada stafnya. Mereka kembali ke meja masing-masing saat mendengar panggilan Syam. Syafei menghampiri juru hitung, memintanya untuk menunda semua pekerjaan Romita. "Hati-hati dengan anggaran yang sewaktu-waktu berubah karena permintaan mendadak. Biar dia sendiri yang menyiapkan mural-mural seni lukis baru dari Eropa. Dia kan kenal dekat dengan teman-teman seniman yang jarang minum air putih itu."
Di ruang tamu, Syam mempersilakan Syafei duduk. Syafei menangkap firasat buruk di wajah Syam. Selama mengenal atasannya, lelaki ningrat itu selalu bersikap serius. Tetapi kali ini terasa berbeda.
"Pi'i! Jangan sampai sikap dan tindakanmu ini merusak persahabatanku dengan Johan Romita."
"Persahabatan?" Kening Syafei mengerut. Bibirnya tanpa sadar membentuk senyum sinis. "Persahabatan macam apa jika dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi?"
"Pi'i, hati-hati kau bicara," suara Syamsudin tegang.
"Bolehlah kita pura-pura baik kepadanya..."
"Hei, aku tak pernah pura-pura baik terhadapnya. Hubungan kami memang karib. Tak seorang pun berhak memecah belah ikatan pertemanan maupun pekerjaan."
"Itu yang saya maksud, Kang. Proyek." Syafei menegaskan dengan menegakkan tubuhnya. "Berapa lukisan selundupan yang telah menjadi koleksi gelap Kang Syam? Bahkan beberapa di antaranya telah menjadi pesanan kolega di luar pasar lelang terbuka? Itukah yang dimaksud dengan nilai persahabatan. Andaikata Johan Romita tahu..."
Tangan Syam memukul meja. Gemetar tubuhnya. Memerah wajahnya. Itu ungkapan bahasa tubuh atas perasaan tersinggung. Syafei cukup terkejut, karena baru kali ini ia membuat Syamsudin marah secara terus terang.
"Sekali lagi kau katakan hal ini, aku tidak akan memaafkanmu."
Syafei mengangkat tangannya. "Kalau saya salah, saya yang akan meminta maaf. Saya hanya ingin belajar bersikap nasionalis."
Syamsudin mencoba meredakan gemuruh dadanya. "Nasionalis? Sebenarnya kau sedang bicara apa? Nasionalis untuk siapa? Kita berada di bawah pemerintahan Hindia yang sedang kampanye untuk kemakmuran rakyat. Lalu, kau mengatakan soal nasionalis. Perkara mudah, bukan? Dukung saja rencana pemerintah. Dukung Parijs van Java! Jangan jadi bingung sendiri begitu..."
"Tuan Syamsudin, saya sedang bicara tentang sebuah masa depan. Negara yang lepas dari penjajahan. Negara mandiri yang dikelola oleh kaum pribumi." Seperti mendapat kekuatan, Syafei menyampaikan sebuah wacana yang sering didengung-dengungkan oleh para intelektual muda idolanya.
Syamsudin tertawa. Tak terlalu keras, seperti biasanya, namun kali ini sangat menusuk. Apalagi ketika dilanjutkan dengan ucapan: "Indonesia, maksudmu?"
Syafei terdiam. Setan alas! Ternyata Syamsudin cukup paham mengenai hal itu. Boleh jadi, pengetahuannya itu dituang dari obrolan dengan sang jurnalis Thadeus van Geelman.
"Pi'i, kita merdeka saja belum. Mengapa tidak mengambil langkah seperti Raden Saleh setengah abad yang lalu? Dia tetap menjadi seorang nasionalis, cinta Tanah Air, tetapi tetap menjaga persahabatan dengan Belanda. Dengan rasa bangga Raden Saleh mengenakan baju Jawa di tanah Eropa. Ia berdiri terhormat di kalangan seniman Eropa sekaligus mengharumkan tanah leluhurnya..."
"Hahahaa...." Kini giliran Syafei terbahak. "Bagaimana mungkin dia disebut nasionalis? Dia asyik minum anggur dalam pesta-pesta yang gemerlap, sementara paman dan kerabatnya ditangkapi Belanda saat membantu perjuangan Kanjeng Pangeran. Itukah sang nasionalis? Atau sesungguhnya pujaan Akang itu hanya seorang oportunis?"
"Pi'i, diam!" Syamsudin berdiri. Kursinya terdorong mundur oleh sepasang tungkai yang mendadak tegak.
Syafei sekali lagi terperanjat. Dia menurut perintah Syamsudin untuk diam.
"Kau tidak tahu arti perjuangan sesungguhnya. Pengetahuanmu tentang nasionalisme masih jauh dari pemahaman seorang tokoh pergerakan. Aku sangat tahu kegiatanmu. Aku juga mendengar tingkah laku Soekarno dan teman-temannya itu. Hanya mimpi! Utopis! Merekalah yang pada akhirnya akan membikin rakyat sengsara dengan mengorbankan diri untuk setiap gesekan politik. Bersabarlah! Toh pemerintah Hindia sedang berangsur-angsur memberikan kepercayaan untuk mengelola administrasi negara kepada pribumi..." Syamsudin sedikit tersengal. Tetapi, seperti juga Johan Romita, lelaki itu memang banyak tahu. Syafei mengakui hal itu sekaligus harus segera menempatkan diri pada posisi yang berseberangan.
"Boleh saya bicara?" tanya Syafei sungguh-sungguh namun terdengar berkelakar.
"Aku masih punya persoalan denganmu." Syamsudin duduk kembali.
"Kebencianmu terhadap Belanda tidak boleh kaukembangkan di biro ini. Siapa pelanggan kita selama ini jika bukan pejabat-pejabat Belanda? Hanya mereka dan orang-orang pemerintahan yang memercayakan pembangunan gedung-gedung negara. Banyak pegawai kita yang harus mendapatkan penghasilan dari pekerjaan kita. Perhatikan itu!"
"Saya sangat mengerti." Syafei mengakui. Agaknya tidak terlampau bermasalah andaikata sepucuk duri dihilangkan. Saat ini, dirinya adalah "duri dalam daging".
"Satu hal lagi, kamu bukan hanya akan merusak hubunganku dengan keluarga Johan Romita dan pejabat Gubernemen. Ingat, perilakumu yang tak pantas itu akan membuat hubunganku dengan Ratna dan Meneer Geelman menjadi berantakan."
"Tunggu! Aku tidak pernah sengketa dengan Meneer Geelman. Aku bersahabat dengan Ratna. Apa masalahnya?"
"Justru itu! Akan kau bawa ke mana hubungan kalian itu? Mau kau rusak sejauh mana gadis baik-baik itu? Kamu pasti tahu perasaanku kepadanya. Bagaimana aku harus menjaga nama baik keluarganya?" Suara Syamsudin berbalut emosi. "Kalau memang hubungan kalian serius, dan kau bertanggung jawab, bawa dia ke penghulu!"
Serupa api yang menyambar, ucapan Syamsudin memanaskan wajah Syafei. Ini urusan yang sangat pribadi. Syam sudah terlampau jauh menyentuh wilayah rahasianya.
Setengah meradang, akhirnya Syafei tegak di depan Syamsudin. "Jadi, ini tentang pekerjaan atau tentang Ratna?!"
***
Begitu kumandang suaranya lenyap, telinga mereka menangkap langkah yang tergesa menjauh. Sepatu yang menginjak kerikil, setengah berlari, dan berikutnya terdengar bunyi sepeda dikayuh.
Serta-merta, baik Syafei maupun Syamsudin, memburu ke serambi. Mereka hanya mendapati kesiur hawa harum dari tubuh seorang perempuan. Keduanya hafal mengenai siapa pemilik pewangi itu. Aroma pemoles tubuh bayi yang membuat keduanya, dengan perasaan gairah yang berbeda, tak akan melupakannya beribu-ribu hari....
"Ratna!" Syamsudin berseru.
Tak mungkin pemilik nama itu akan menyahut panggilan Syam. Tak mungkin sepeda yang dikayuh Nona Ratna Juwita van Geelman itu akan berbalik arah.
Syam tak peduli lagi dengan Syafei yang tetap berdiri di ujung langkan. Ia bergegas menuju ke samping biro. Diambilnya sepeda dan mengayuhnya secepat yang ia mampu.
Syafei hanya memandang Syam yang melaju meninggalkan halaman. Bergeming serupa arca namun dengan suhu badan setengah demam. Hati Syafei sedang dipenuhi suara guruh.
Nasionalisme! Kata yang mulai goyah di lidah namun telanjur berakar dalam benak. Syafei seperti sedang terseret ke wilayah yang salah. Sebuah pagi yang gelisah.
***
Bandung, Savoy Homann, 2009
Pertengkaran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar