Maaf

Cerpen Putu Wijaya
(Dimuat di Jawa Pos, 09/19/2010)

Pada hari raya Idul Fitri muncul tamu yang tak dikenal di rumahku. Aku pura-pura saja akrab, lalu menerimanya dengan ramah tamah. Terjadi percakapan. Mula-mula sangat seret, sebab aku sangat berhati-hati jangan sampai kedokku terbuka. Di samping itu, diam-diam aku berusaha keras untuk membongkar seluruh kenangan. Setiap bongkah aku bolak-balik, mencoba menyibak, siapa kira-kira dia, tetapi sia-sia.
Seseorang yang mau nagih hutang yang karena satu dan lain sebab aku lupakan? Orang yang keliru menyangka aku temannya? Penipu atau orang sakit jiwa?

Setengah jam pertama lewat, tetapi masih tetap gelap. Cangkir teh tamu itu sudah kosong. Aku dengan berbasa-basi menawarkan apakah boleh menambah isi cangkirnya. Maksudnya untuk mengingatkan bahwa kalau itu sebuah kunjungan basa-basi sudah masanya untuk diakhirinya. Tetapi tamu itu mengangguk, ya, cangkirnya boleh diisi lagi, sekiranya tidak memberatkan.

Aku berseru memanggil Taksu, yang memang tidak ada di rumah. Tentu saja Taksu tidak keluar-keluar. Yang muncul adalah istriku yang sudah hendak jalan ke tetangga. Ia mengerti apa yang dimaksudkan suaminya, lalu mengangguk sopan, membawa cangkir masuk. Tetapi kemudian keluar dengan sebuah gelas penuh teh, mungkin supaya tidak perlu bolak-balik lagi. Aku membuang muka karena kecewa. Apa boleh buat sudah telanjur. Ternyata istriku juga menyodorkan setoples kacang sebelum kemudian pamit pergi ke tetangga.

Mau tak mau aku terpaksa memainkan kehadiran kacang itu. Ternyata dengan kacang kapri percakapan menjadi lebih renyah. Aku mulai mendapat informasi bahwa tamu itu sudah menjalani perjalanan yang panjang sebelum menemukan rumahku. Ia menyebut-nyebut kapal laut, kereta api, dan kemudian pesawat terbang. Aku lalu menduga orang itu datang dari Jakarta. Tidak ada kereta api yang sepanjang itu di pulau lain.

Lalu aku ingat pada beberapa kenalanku yang tinggal di Jakarta. Barangkali ini salah satu anggota keluarga Ikra atau Soegianto. Ia datang pasti karena mendapat rekomendasi dari mereka. Dengan harap-harap cemas aku menunggu kalau salah satu nama temanku itu melompat dari mulutnya. Tapi setengah jam lagi berlalu, itu tak terjadi. Tamu itu, setelah memuji kegurihan dan kerenyahan kacang yang katanya paling enak dari semua kacang yang pernah dicicipinya, ia malah banyak bertanya tentang kesehatan jasmaniku.

Apa aku sudah mulai punya keluhan asam urat atau darah tinggi. Mungkin diabet atau jan tung berdebar-debar. Apa aku masih rajin olahraga orhiba. Belum punya pantangan makanan? Masih berani makan sate kambing dan duren? Bagaimana kalau kopi? Berapa kali minum kopi sehari? Dan merokok?

Ketika mendengar aku tidak merokok dengan penuh perhatian ia menanyakan bagaimana aku bisa menghindar dari rokok yang menjadi alat pergaulan itu. Apakah aku memang tidak merokok sejak awal, tetapi nampaknya itu mustahil, karena merokok sudah jadi identitas semua pemuda yang aktif. Jadi bagaimana caranya aku keluar dari cengkeraman rokok yang menjadi salah satu pembunuh kejam itu.

Aku mulai meyakini bahwa orang itu pemadat yang berusaha untuk membebaskan dirinya dari nikotin tetapi selalu gagal. Bukan karena cengkeraman nikotin itu tak bisa dihindari, tapi karena sebenarnya ia tak sungguh-sungguh ingin berhenti merokok. Ia nampak menikmati ceritanya sendiri yang selalu gagal lagi, gagal lagi bercerai dengan rokok.

Tiba-tiba ia menanyakan apakah aku tidak pernah merasa takut, karena sudah melakukan dosa? Bukan dosa yang dilakukan dengan sengaja tapi dosa-dosa yang tak diketahui, semacam kekhilafan atau kekurangtahuan.

Aku terkejut. Terpaksa lebih berhati-hati lagi menjawab. Aku mulai curiga, sehingga berusaha agar lebih banyak mendengar daripada bicara. Tapi celakanya orang itu menganggap aku sangat tertarik dan tekun mendengar. Sambil tak henti-hentinya mengunyah kacang, ia menceritakan ada beberapa tingkat dosa yang biasa dilakukan oleh manusia tanpa disadari oleh pelakunya.

Pertama, katanya, dosa bagi yang membiarkan perbuatan berdosa dilakukan. Seperti melihat ada pencuri. Kalau diam saja tidak berusaha menghalangi pencuri itu melakukan praktik jahanamnya merugikan orang lain, orang yang melihat itu berarti setuju dan ikut mencuri. Hukumannya sama saja.

Yang kedua, dosa yang tidak peduli terhadap orang-orang yang sudah melakukan dosa. Tidak pernah berusaha untuk memberikan teguran atau bimbingan agar orang yang berdosa itu sadar pada perbuatannya. Jangan-jangan pendosa itu melakukan dosanya karena tak tahu itu perbuatan dosa. Bagi yang tahu tapi membiarkan saja orang itu sesat, hukumannya sama. Orang itu berarti ikut membantu melakukan perbuatan dosa.

Dan, yang ketiga, dosa bagi yang tidak mau memaafkan mereka yang berdosa karena ingin menghukum agar pendosa itu kapok. Seorang yang berbuat dosa terlalu besar, mungkin sudah tertutup mata hatinya, sehingga ia tidak melihat perbuatan itu dosa. Jadi bagaimana mungkin dia akan insaf. Sementara itu, seseorang yang berbuat dosa terlalu besar, mungkin sadar perbuatannya itu tidak termaafkan. Jadi ia pasti malu datang untuk minta maaf karena ia sendiri sadar perbuatannya itu sulit dimaafkan.

Nah, kata tamu misterius itu, bagi yang tahu kondisi orang itu, dan membiarkannya tetap berada dalam kegelapan dosa, berarti yang bersangkutan juga berdosa. Hukumannya sama saja. Bahkan bisa lebih berat, sebab orang yang tak mengetahui dan orang yang tak berdaya itu tindakannya tidak lagi terkendali, karena ia seperti orang yang tidak berkemampuan. Sebaliknya, orang yang berdaya yang tidak punya kesulitan bertindak untuk mencegah dosa itulah yang akan menanggung dosanya.

Sampai di situ, aku sudah tidak bisa lagi menahan kesabaran. Kacang di toples tinggal separo. Sudah hampir tiga jam aku mendengar tamu yang tidak punya perasaan dan mungkin sinting itu, menyita waktuku. Padahal sudah dua kali aku sempat tertidur ketika ia menguraikan teori-teori tentang dosa, tetapi setiap kali aku terbangun, orang itu masih terus di situ. Makan kacang dan bicara.

Lalu aku putuskan hendak berdiri. Tapi dia lebih cepat bangkit dan menahan aku di tempat duduk. Tidak, katanya, sudah cukup kunjungan saya kali ini. Terima kasih atas penerimaan Pak Amat yang begitu baik, sekarang saya mau melanjutkan perjalanan lagi, katanya sambil menangkap tanganku. Aku tak sampai hati mengelakkan tangan, apalagi ketika orang itu mencium tanganku, lalu bergegas pergi.

Aku tetap duduk di kursi, tak sudi mengantarkan, untuk menunjukkan rasa kesal. Ketika istriku pulang, ia terkejut melihat suaminya bengong di kursi seperti ketika ia tinggalkan tiga jam yang lalu.

"Kenapa Pak? Kok dari tadi bengong melulu. Masak makan kacang sampai setengah toples, nanti bibirnya lumpangan lho. Mau minum lagi?"

Aku terkesima. Tiba-tiba aku sadar siapa yang tadi bertamu.

"Ayo Bu, kita ke rumah Pak Bimantoro untuk mengucapkan selamat hari raya!"

Istriku tercengang.

"Lho, bukannya dia musuh kita yang sudah memfitnah Bapak korupsi uang warga yang mau dipakai untuk membangun sekolah?"

"Betul. Dan sekarang sudah terbukti itu bohong! Dia pasti malu besar. Dia orang berpendidikan tinggi, pasti dia tidak akan berani minta maaf karena ia tahu fitnahnya yang kejam itu sukar dimaafkan. Kita ke sana saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang."

Aku cepat mengganti baju dan sandal.

"Ayo Bu!"

Istriku tak membantah, hanya penasaran.

"Kenapa Bapak jadi berubah pikiran? Bukannya Bapak yang kemarin mati-matian menolak keras waktu diajak untuk silaturahmi maaf-maafan ke situ?"

"Ya. Tapi tadi aku kedatangan tamu. Dia bilang tolonglah orang yang tidak berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku sendiri tidak berdosa karena sudah membiarkan orang terus berdosa. Ayo Bu!"

Istriku tambah heran.

"Tamu siapa? Memang tadi ada tamu?"

"Sudah, kok ngomong terus. Ayo cepet! Nanti keburu malam."

Dalam perjalanan, istriku terus bertanya-tanya. Apa yang sudah menyebabkan aku berbalik pikiran. Menurut dia, sudah betul apa yang aku putuskan. Menurut istriku, orang kaya itu adalah teroris yang berbuat seenak perutnya sendiri saja. Tanpa punya bukti dia dengan seenak perutnya main tuduh mengatakan aku sudah makan uang warga. Dan itu menyangkut nilai sampai setengah miliar. Padahal uang itu tidak hilang, tapi dipinjamkan oleh bendahara pada warga yang memerlukan atas persetujuan panitia pembangunan sekolah itu sendiri. Dan orang kaya itu termasuk anggotanya, tapi tidak pernah hadir dalam rapat. Belum apa-apa ia sudah mengundang wartawan dan berkoar-koar. Maksudnya jelas, ingin menarik simpati masyarakat karena ia ingin terpilih menjadi caleg. Akibatnya masyarakat marah. Hampir saja ia didemo. Tapi atas kesalahannya itu ia sama sekali tidak merasa bersalah. Malah menuduh warga yang berusaha memfitnah dia. Dia berkoar-koar lagi di mana-mana mengatakan sudah diacuhin warga.

"Sekarang bukannya minta maaf, dia malah bikin rumahnya open house, supaya kita semuarame-rame datang ke situ maaf-maafan, seakan-akan kita semua yang salah. Itu kanmemutar balik soal. Ngapain kita meladeni orang yang sesoprenia?"

"Untuk menunjukkan bahwa kita berjiwa besar?"

"Ah itu namanya jiwa kecil. Seperti kita semua ngiler mau makan enak dan ambil bungkusan, paling juga dia dapat dari sponsor!"

"Bungkusan apa?"

"Aku baru datang dari rumah tetangga yang barusan ke sana. Tiap orang yang datang ke situ pulangnya dibawaain tas plastik berisi suvenir.Tahu apa isi tas itu? Barang-barang contoh rokok, sampo, sabun, ciki-ciki racun, dan paket mie baru yang pasti dia dapat dari sponsor!"

Aku terkejut. Tapi kami sudah ada di depan rumahnya. Mau membatalkan tidak bisa karena penyambut tamu mempersilakan kami masuk. Silakan masuk, silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.

Ternyata di dalam rumah sepi. Mungkin tidak ada yang sudi datang. Hanya aku dan istriku. Mau balik langkah, sudah telanjur masuk. Terpaksa dilanjutkan. Muka istriku sudah mulai masam. Aku mencoba berjiwa besar.

"Sabar. Niat kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari untuk saling memaafkan."

"Silakan Pak, Ibu. Apa sopnya mau dipanasin dulu?"

"Tidak usah, tidak usah."

Istriku tidak mau makan. Tapi piring sudah diulurkan. Terpakasa aku terima. Makanan begitu berlimpahan, mewah dari catering kelas satu. Aku merasakannya sebagai semacam penghinaan kepada kemiskinan yang berserakan di mana-mana. Kenapa kenikmatan itu diumbar dalam rumah itu, tidak dibagikan saja kepada mereka yang lebih membutuhkan?

Pelayan yang meladeni kami menghampiri.

"Silakan Bapak dan Ibu, yang santai saja. Kalau nanti ada yang mau dibawa pulang, pesan Ibu mangga, kotak plastiknya ada di atas meja itu. Atau perlu saya bantu."

Aku tak menjawab, hanya senyum-senyum. Tapi istriku melabrak dengan sinis.

"Terima kasih. Tapi tuan rumahnya ke mana kok nggak nongol?"

Pelayan itu tersenyum.

"O ya, Bu. Bapak dan Ibu minta maaf, keluar sebentar untuk bersilaturahmi karena sudah seharian di rumah. Tapi sebentar lagi beliau akan datang. Silakan menunggu sebentar."

Sebentar apaan, ini sudah satu jam, bentak istriku. Ngapain kita kemari? Darahnya sudah mulai naik. Aku setuju, kunjungan dengan niat suci dan luhur itu ternyata sebuah kesalahan.

Kemudian ada dua tetangga yang memang punya reputasi tukang jilat muncul. Mereka heran melihat kami. Setelah basa-basi, mereka langsung mengganyang makanan. Kemudian membungkusnya, lebih banyak dari yang sudah mereka makan. Lalu cepat-cepat permisi dengan alasan akan bersilaturahmi pada yang lain.

Istriku langsung mau ikutan. Aku berkeras menahan.

"Kedatangan kita kemari mau menunjukkan kepada dia bahwa meskipun kita sebenarnya yang pantas dimintai maaf, tapi kita sudah datang kemari karena dia sendiri tidak punya nyali untuk minta maaf. Ini sebuah pembelajaran moral kepada dia!"

Tapi setengah jam kemudian, ketika tuan rumah belum juga nongol, akhirnya kami pergi diam-diam. Begitu pelayannya menyelinap ke belakang, kami buru-buru kabur.

"Alhamdulillah!" kata istriku lega, seperti lepas dari tekanan batin, "meskipun di situ makanannya enak-enak, diupah juga aku tidak mau masuk lagi. Ini penghinaan! Bapak terlalu lembek, mau mau datang. Dia akan tambah sombong sekarang. Lihat, nggak ada orang yang datang ke situ, karena semua punya harga diri. Kita saja yang coba-coba datang karena jiwa kita yang besar, akhirnya dihina seperti ini!"

Aku tak menjawab, karena setuju. Tapi karena aku setuju, istriku justru tambah marah lagi. Sepanjang jalan dia terus marah.

"Orang kaya tidak pernah peduli apalagi mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada orang lain. Dia tidak akan mau melihat kesalahannya, karena matanya sudah penuh berisi tuduhan-tuduhan yang mengatakan kita yang salah. Tidak akan ada pikiran malu, apalagi mau minta maaf sama kita. Dia pikir dengan uangnya itu, semua bisa diatur. Dan memang bisa. Lihat itu penjilat-penjilatnya yang datang tadi. Mereka menyangka kita ini mau ikut-ikutan menjilat. Malu!"

Begitu sampai di teras rumah, aku tidak tahan lagi. Aku banting kantong plastik itu ke meja. Isinya terburai berserakan. Belum puas, aku tendangi lagi isinya. Mie, rokok, permen, dan ciki-ciki racun hancur berantakan. Salah satunya tertendang masuk ke pintu depan yang terbuka.

Tiba-tiba anakku Taksu muncul.

"Pak dari mana aja?"

"Bapak kamu baru saja membuktikan kekonyolannya!"

"O ya? Tumben!"

"Habis sudah aku dipermalukan."

"Kenapa?"

"Bapak kamu mau menolong bangsat yang tidak berani datang minta maaf karena keder lantaran dosanya sudah kelewatan itu, eh nggak tahunya masuk perangkap dan dipermalukan habis. Rumahnya kosong!"

"Siapa?"

"Setan kaya yang..."

Taksu mengangkat tangan sambil memotong.

"Bapak sudah ditunggu tiga jam."

"Ditunggu? Ngapain, kan Bapak silahturahmi?"

"Udah tak bilangin begitu, tapi di sitiunya ngotot mau nungguin!"

"Siapa sih?"

"Saya Pak."

Tiba-tiba di depan pintu muncul orang kaya itu.

Darahku tersirap. Di belakangnya muncul istri dan kelima anaknya. Sekeluarga lengkap. Aku bengong. Sementara aku ke rumahnya dan menunggu sambil memaki-maki, rupanya dia sekeluarga datang dan menunggu dengan sabar hanya untuk minta maaf.

Orang kaya yang barusan aku maki-maki itu mendekat, langsung menjabat tanganku erat. Minta maaf atas segala kesalahannya dan memeluk. Istrinya menyusul. Lalu anak-anaknya satu per satu mencium tanganku dengan hormat, pasti sudah diberi instruksi orang tuanya.

Wajah istriku meledak gembira. Sumpah serapahnya kontan senyap. Apalagi kemudian para tetangga keluar dari rumahnya, menyaksikan silaturahmi itu dan sekalian ikut salam-salaman. Taksu diam-diam dengan gesit mengumpulkan suvenir yang berceceran di mana-mana itu lalu melenyapkannya ke belakang. Hari itu menjadi hari perdamaian yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Ya Tuhan, alangkah mudahnya seluruh rasa benci dan permusuhan itu diselesaikan oleh hari raya. Bayangkan kalau hari yang begitu perkasanya menendang semua permusuhan yang setahun mapat, tak ada? Boleh jadi lebih banyak lagi baku hantam di dunia yang haus darah ini. Hari raya adalah mahakarya. Aku memejamkan mata dan bersyukur.

Waktu itu, tamu itu kembali. Ia menjatuhkan badannya di kursi sebelum sempat aku tegur.

"Aku tak bisa menemukan alamatnya," katanya sembari memejamkan matanya yang lelah, "Mungkiin dia sudah pindah atau sudah tak ada. Bagaimana kalau aku nginap saja di sini?"

Begitu selesai ngomong dia sudah mendengkur pulas. Aku terkesima. Kutunggu beberapa saat, barangkali dia tersentak bangun dan tentu saja lebih baik pergi, karena sudah larut malam. Tapi dadanya turun naik teratur. Ia sudah jauh. Kucium rasa lelah yang kental meruap dari tubuhnya, tanda sudah menjelajah perjalanan maraton.

"Sudah larut, kendaraan yang terakhir akan berangkat," bisikku.

Tapi ia sama sekali tak berkutik. Kemudian istriku keluar dari dalam rumah menegur.

"Tidur Pak, sudah malam."

"Ya sebentar lagi."

"Jangan pakai sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!"

Dengan berat hati aku berdiri.

"Ayo!"

"Ya, ya! Tapi dia bagaimana?"

"Apa?"

"Nggak!"

Istriku tidak mau pergi sebelum aku benar-benar masuk. Setelah itu dia menutup pintu dan menguncinya. Dalam hati aku berkata: meskipun kita tidur bersama setiap malam selama bertahun-tahun, tapi yang ini tidak akan kamu mengerti, Sayang.

Tetapi tiba-tiba istriku nyeletuk.

"Aku kawin hanya dengan satu laki-laki!"

Aku terpaku. Siapa bilang perempuan tidak mengerti, hanya tidak semua yang mereka katakan. ***

Jakarta, 27 Agustus 2010

Romansa Merah Jambu

Cerpen K Usman
(Dimuat di Kompas, 09/19/2010)

Bagi Gadis, menyendiri di tepi danau, menunggu seseorang yang pernah berjanji padanya tidak cuma bingung dan termenung.

Dia pergi ke tepi danau di tengah hutan setelah usai memanen padi ladang bersama Bapak dan Emak. Bila akan pergi ke tepi danau berair biru jernih itu, dia tak lupa membawa beberapa lembar kain belacu putih dan peralatan menyulam. Di keheningan tepi danau tercium olehnya harum bunga mawar hutan. Dia dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor ikan di permukaan danau. Air beriak bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun pepohonan sangat rimbun—bercermin di air danau yang bening.

Sekian tahun silam, menjelang petang, seorang pelukis tua berjanggut lebat, dan putranya datang dari kota ke ladang di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu menyetir mobil jip tua dan membantu sang ayah membawa peralatan melukis. Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan Si Pelukis dan putranya memasang tenda di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis fauna dan flora di hutan sekitar itu. Dia juga mau melukis peladang, pengail ikan di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam.

Semula, Bapak dan Emak agak ragu untuk mengizinkan Si Pelukis dan putranya mendirikan tenda di tepi ladang mereka. Berkat perilaku santun kedua tamu, hati orangtua Gadis luluh. Keramahtamahan Si Pelukis dan putranya menjadikan mereka cepat akrab. Usia putra Si Pelukis dan Gadis hampir sebaya.

Setelah mendirikan tenda, Si Pelukis minta tolong kepada Emak untuk memasak makanan buat sarapan, makan siang, dan malam—selama mereka bermukin di tepi ladang yang lengang itu. Bapak mengizinkan Emak memasak untuk mereka. Si Pelukis menyerahkan sejumlah uang untuk belanja kepada Emak. Uang itu ditolak Emak. Tetapi, setelah dibujuk berulang-ulang oleh Si Pelukis dengan sabar dan manis, akhirnya uang yang cukup banyak itu diterima Emak. Giliran Gadis menolak uang itu. Katanya, tidak pantas tamu membayar makan kepada tuan dan nyonya rumah. Si Pelukis mengatakan kepada si perawan cantik itu, ”Aku dan putraku bukanlah tamu keluarga di ladang ini. Kami tidak mau membebani keluarga ini. Uang itu tak seberapa. Ya, itu hanya sekadar tanda terima kasih. Kalau pemberian kami itu ditolak, sama dengan keluarga ini tidak ikhlas menerima kami,” lanjut Si Pelukis, lirih.

Setelah Si Pelukis dan putranya masuk tenda, Gadis menggerutu kepada Emak.

”Uang pemberian Si Pelukis itu akan membuat Bapak, Emak, dan aku berutang budi kepada Si Pelukis. Keluarga kecil kita ini bisa disangka mata duitan,” sambungnya. Bapak mengatakan, uang itu sebagai tanda terima kasih. Tidak elok menolak ucapan terima kasih dari seseorang, lanjut Bapak. Sejak saat itu, Gadis diam. Dia pergi ke tepi danau dan menyulam.

Selesai sarapan pagi, esoknya, Si Pelukis mengatakan kepada Bapak, beberapa hari ini, ingin melukis bunga anggrek. Dia mengetahui ada sekitar 30.000 jenis bunga anggrek di seluruh dunia. Tetapi, dari sekian banyak jenis anggrek itu, dia hanya akan melukis beberapa jenis saja. Kemudian, dia menunjukkan kepada Bapak daftar nama puluhan macam bunga anggrek, yakni Anggrek Bambu, Anggrek Bulan, Anggrek Buntut Bajing, Anggrek Congkok Kuning, Anggrek Gebeng, Anggrek Hitam, Anggrek Jambrut, Anggrek Janur, Anggrek Kalajengking, Anggrek Kancil, Anggrek Kasut Belang, Anggrek Kasut Berbulu, Anggrek Kasut Pita, Anggrek KembangGoyang, Anggrek Kepang, Anggrek Lau-Batu, Anggrek Lilin, Anggrek Loreng, Anggrek Mawar, Anggrek Merpati, Anggrek Mutiara, Anggrek Pandan, Anggrek Tanah Kuning, Anggrek Tebu, Anggrek Uncal, dan Anggrek Nan Tongga. Sebagian besar nama anggrek itu masih sangat asing bagi Bapak.

Bapak mengaku sejujurnya, sedikit sekali pengetahuannya mengenai bunga anggrek. Bapak tak menjamin, di hutan sekitar ini terdapat anggrek yang diinginkan Si Pelukis. Sambil tersenyum, Si Pelukis berkata, ”Seberapa adanya sajalah, Pak.”

Selama Si Pelukis dan Bapak mencari bunga anggrek di dalam hutan, Emak memasak di dangau. Gadis dan putra Si Pelukis duduk di tepi danau. Mereka ngobrol dengan seorang pemancing tua, sahabat Gadis. Si Pemancing telah berhasil mengail ikan gabus, lele, gurame, betok, dan mujair. Setelah itu, putra Si Pelukis mengajak Gadis duduk di bawah naungan batang rengas *) besar dan tinggi. Kedua orang muda itu saling menanyakan nama lengkap dan bertukar cerita.

”Namaku Kiagus Muhammad Gindo,” putra Si Pelukis menyebutkan nama lengkapnya. ”Panggil saja aku Gindo,” lanjutnya.

”Namaku Masayu Nurul Indahwati,” kata Gadis malu-malu. ”Biasanya, aku dipanggil Gadis,” ucapnya sambil melipat selembar kain belacu putih yang sedang disulamnya.

”Berapa banyak sarung bantal yang sudah Gadis sulam?” tanya Gindo.

”Lumayan,” jawab Gadis, ”Sulit aku menghitungnya. Sejak kecil aku sudah belajar menjahit dan menyulam pada Emak. Selain menyulam sarung bantal, aku menyulam hiasan dinding untuk pajangan, taplak meja, saputangan, tas kain, dan macam-macam lagi,” cerita Gadis.

”Kau hebat sekali,” puji Gindo.

”Ah, biasa saja,” ujar Gadis.

Gindo terkejut setelah mendengar cerita Gadis tentang kemampuannya membudidayakan ikan patin dan nila. Gadis akan meneliti ikan belida, dalam waktu dekat. Ternyata, Gadis bukanlah perawan dusun yang berpikir kuno dan tradisional. Gindo memberondong Gadis dengan berbagai pertanyaan tentang masa kecil dan masa kininya, tapi tidak berhasil mendapat jawaban sesuai kehendak hatinya. Gadis yang berwajah cantik dan tenang, pemilik mata sebening air danau, tak tak membuka pintu rahasia hatinya. Gindo menyimpulkan, selain pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi kecantikan dan kepribadian Gadis.

Waktu terus berlalu. Si Pelukis telah menyelesaikan lukisan bunga anggrek, satwa liar, danau, peladang, pemancing tua, dan mawar hutan. Terakhir, sebelum pamitan, dia minta izin kepada Bapak dan Emak untuk melukis Gadis dengan latar belakang danau dan kebun tembakau. Kata Bapak dan Emak, terserah pada Gadis. Mengejutkan sekali, Gadis menolak jadi model. Dia merasa tidak berminat dan tak berbakat. Dia juga malu, bila wajah dan tubuhnya diabadikan di kain kanvas, kemudian akan dipamerkan di hadapan para kolektor dan penggemar seni lukis di kota-kota besar. Si Pelukis tak putus asa. Dia membujuk Gadis dengan menawarkan sejumlah uang sebagai honorarium. Iming-iming itu tak mengubah pendirian Gadis.

”Maafkan aku, Pak Pelukis,” kata Gadis sopan. ”Bagaimana mungkin Gadis melakukan pekerjaan yang berbeda dengan kata hati? Bila gadis memaksakan diri menjadi model lukisan Bapak, aku yakin lukisan itu tidak akan berjiwa,” lanjutnya tegas, tapi sopan. Kata-kata Gadis, itu menambah kagum Gindo kepadanya. Di dalam hati, Gindo kurang setuju, Gadis menjadi model lukisan ayahnya. Tumbuh benih cemburu di hati pemuda kritis itu.

”Tak apa-apa kalau Gadis keberatan,” kata Si Pelukis. ”Aku tak hendak memaksa,” lanjutnya, berupaya menyembunyikan rasa kecewanya.

Gadis usul kepada Si Pelukis agar melukis sosok dirinya di dalam imajinasi, tetap berlatar belakang danau, atau ketika dirinya sedang memandang sekuntum mawar hutan. Lukisan berdasarkan imajinasi, kata Gadis mungkin akan lebih indah dan berjiwa dibanding yang natural. Si Pelukis tersentak. Dia tersindir. Dia sadar, dirinya bukanlah tukang gambar. Ali adalah seniman lukis, atau perupa berpengalaman, kata hatinya. Saran Gadis diterimanya dengan jiwa besar. Si Pelukis mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajah Gadis yang ayu, lembut keibuan, dan selalu tampil alami. Bersahaja saja dia. Saat itu pula, Si Pelukis terkenang pada 0lga, istrinya yang sudah lama tiada.

***

Kehadiran Si Pelukis dan putranya beberapa tahun silam dikenang Gadis sambil menyulam di tepi danau. Senja kali ini bergerimis. Pelangi melengkung di seberang sana danau. Gadis membayangkan tujuh bidadari turun meniti pelangi. Para putri kayangan itu mandi berkecipung di air danau—yang kemerahan disinari matahari senja—semerah isi semangka. Pelangi dan bidadari pun menjadi inspirasi bagi Gadis untuk menyulam. Senja itu, Gadis menyulam sekuntum mawar hutan di selembar kain belacu putih. Dia sangat cemas apabila seluruh hutan dan ladang Bapak kelak menjadi lahan kebun kelapa sawit, tak akan ditemukan lagi mawar hutan. Itulah sebabnya Gadis mengabadikan mawar hutan di dalam beberapa sulaman untuk hiasan dinding. Salah satu sulaman bunga mawar hutan, khusus disediakannya untuk Gindo.

Ketika pamitan, dulu, Gindo mengatakan, awal tahun depan akan menemui Gadis di tepi danau. Sekian lama, Gadis setia menunggu, tapi Gindo tak kunjung datang. Penanggalan di dinding dangau telah diganti Bapak dengan kalender baru, Gindo belum juga datang. Gadis segera kembali ke kota, sehabis cuti tahunan, melanjutkan penelitian ikan belida untuk gelar S2-nya. Si pemancing tua, berjenggot putih, sahabat Gadis di tepi danau merasa sepi setelah Gadis pergi.

Gindo tak berniat melanggar janji kepada Gadis. Musibah telah menimpa Si Pelukis gaek, ayahnya. Jip yang dikendarainya masuk jurang, ketika meneruskan pengembaraan sendirian untuk melukis Bukit Barisan. Lelaki tua pemberani itu tewas di tempat kejadian. Gindo berhalangan menemani ayahnya karena sedang mengikuti ujian S2—jurusan ilmu komunikasi di ibu kota provinsi. Mengenai musibah itu, Gindo telah mengirim e-mail kepada Gadis. Pada bagian akhir e-mail itu, Gindo menulis:

”Gadis yang baik. Kini, aku sudah yatim piatu. 0lga, ibuku, yang asal Rusia meninggal 27 tahun lalu, setelah aku lahir. Ayah tidak pernah menikah lagi karena setia, dan sangat cinta pada Ibu. Bila rindu pada Ibu, Ayah ziarah ke makamnya berlama-lama. Aku janji, 40 hari setelah Ayah wafat, aku segera menemuimu di danau. Banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Gadis, Ketahuilah, di dalam diriku sedang menguntum romansa merah jambu. Sampai di sini dulu, ya? Salam. Gindo selalu merindukanmu.” Pesan itu tak sampai karena laptop milik Gadis sedang mengalami error.

Di ujung tahun, Gindo menyetir jip tua peninggalan ayahnya menuju danau. Dia tercengang di depan pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman kelapa sawit muda setinggi lutut—terbentang di depannya seluas mata memandang. Danau makin sunyi. Pemancing tua entah berada di mana? Tak ada lagi pepohonan tinggi yang berdaun rimbun di sekitar danau itu. Gindo tidak diizinkan masuk lokasi perkebunan sawit oleh petugas keamanan berseragam hijau-loreng. Para petugas keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, ”Di mana Emak, Bapak, dan Gadis, setelah hutan, dan ladang mereka digusur?

(Mengenang Tanjung Serian, dusun Bapak, Kepur, dusun Emak, dan Tanjung Raman, dusun Taufik Kiemas—di tepi Sungai Lematang).

Villa Kalisari, Depok, 04 Juni 2010

*) Pohon yang kayunya merah, getahnya sangat tajam, dan gatal bila tersentuh, dapat menyebabkan kulit melepuh. Getahnya dapat dijadikan cat pernis atau minyak kayu. Buahnya mirip jeruk purut, warna cokelat, tak dapat dimakan.

Mario Vargas Llosa Terpilih sebagai Peraih Nobel Sastra 2010

nobel sastraSeorang sastrawan asal Peru, Mario Vargas Llosa (74), terpilih sebagai peraih Nobel Sastra 2010 yang diumumkan Kamis (7/10/2010). Selama ini ia dikenal sebagai penulis berbahasa Spanyol yang terkemuka dan beberapa kali dijagokan sebagai penerima Nobel Sastra sebelumnya.

Vargas Llosa telah menulis lebih dari 30 novel, naskah drama, dan esai. Komite Nobel dari The Swedish Academy di Swedia menilai tulisan-tulisannya menampilkan bentuk pemberontakan, perlawanan, dan perjuangan individu yang sangat tajam dan kuat. Sekretaris tetap akademi tersebut Peter Englund bahkan menyebutnya sebagai pencerita berbakat "hadiah Tuhan" yang tulisannya langsung menyentuh kepada pembacanya.

"Buku-bukunya seringkali punya komposisi yang kompleks, punya sudut pandang yang beragam, beragam argumentasi, dan lintas zaman," ujar Englund. " Ia juga menyajikan cara baru untuk menghasilkan seni narasinya sendiri," tambahnya. Sejumlah bukunya pernah mendapat penghargaan sastra di berbagai negara dan telah diterjemahkan ke 31 bahasa.

Vargas Llosa merupakan orang Amerika Latin pertama sejak tahun 1982 yang mendapatkan penghargaan bergengsi Nobel Sastra dan bakal mendapatkan berhadiah 10 juta kronor atau sekitar Rp 14 miliar. Nobel Sastra tahun 1982 diterima penulis Kolombia Gabriel Garcia Marquez. Vargas Llosa merupakan orang Amerika Latin pertama sejak tahun 1982 yang mendapatkan penghargaan bergengsi Nobel Sastra dan bakal mendapatkan berhadiah 10 juta kronor atau sekitar Rp 14 miliar. Nobel Sastra tahun 1982 diterima penulis Kolombia Gabriel Garcia Marquez. Penganugerahan Nobel Sastra kepadanya tergolong istimewa karena selama enam tahun terakhir komite Nobel memilih sastrawan Eropa.

Ia tumbuh di era penulis generasi baru Amerika Latin dan memulia debut karyanya pada tahun 1963 berupa novel berjudul "The Time of the Hero" (La Ciudad de los Perros) yang menceritakan pengalamannya di pelatihan militer Leoncio Prado. Buku tersebut memenangkan penghargaan Spanich Critics Award dan dilarang beredar oleh militer Peru. Seribu eksemplar buku tersebut dibakar dan Vargas dicap komunis. Ia pun pernah aktif di politik. Vargas pernah maju sebagai calon presiden Peru namun kalah dengan Alberto Fujimori pada tahun 1990.

Ia pernah menjadi dosen di berbagai universitas di AS, Eropa, dan Amerika Latin. Dan, saat ini, Vargas mengajar di Princeton University, New Jersey, AS.

(Sumber: Kompas)
-------------------

Dengan demikian, Mario Vargas Llosa melengkapi daftar penerima hadiah nobel sastra yang telah berlangsung sejak tahun 1901 itu. Berikut adalah daftar penerima Nobel Sastra dari tahun ke tahun:


1901


Sully Prudhomme (Prancis)


1902


Christian Matthias Theodor Mommsen (Jerman)


1903


Bjørnstjerne Martinus Bjørnson (Swedia-Norwegia)


1904


Frédéric Mistral (Prancis) dan José Echegaray y Eizaguirre (Spanyol)


1905


Henryk Adam Aleksander Pius Sienkiewicz (Polandia Kongres)


1906


Giosuè Carducci (Italia)


1907


Joseph Rudyard Kipling (Inggris)


1908


Rudolf Christoph Eucken (Jerman)


1909


Selma Ottilia Lovisa Lagerlöf (Swedia)


1910


Paul Johann Ludwig von Heyse (Jerman)


1911


Pangeran Maurice Polydore Marie Bernard Maeterlinck (Belgia)


1912


Gerhart Hauptmann (Jerman)


1913


Rabindranath Tagore (India)


1914


tidak ada


1915


Romain Rolland (Prancis)


1916


Carl Gustaf Verner von Heidenstam (Swedia)


1917


Karl Adolph Gjellerup (Denmark) dan Henrik Pontoppidan (Denmark)


1918


tidak ada


1919


Carl Friedrich Georg Spitteler (Swiss)


1920


Knut Hamsun (Norwegia)


1921


Anatole France (Prancis)


1922


Jacinto Benavente Martínez (Spanyol)


1923


William Butler Yeats (Irlandia)


1924


Władysław Stanisław Reymont (Polandia)


1925


George Bernard Shaw (Irlandia)


1926


Grazia Deledda (Italia)


1927


Henri-Louis Bergson (Prancis)


1928


Sigrid Undset (Norwegia)


1929


Paul Thomas Mann (Republik Weimar)


1930


Harry Sinclair Lewis (AS)


1931


Erik Axel Karlfeldt (Swedia)


1932


John Galsworthy (Inggris)


1933


Ivan Alekseyevich Bunin (Uni Soviet)


1934


Luigi Pirandello (Italia)


1936


Eugene Gladstone O'Neill (AS)


1937


Roger Martin du Gard (Prancis)


1938


Pearl Sydenstricker Buck (AS)


1939


Frans Eemil Sillanpää (Finlandia)


1940


tidak ada


1941


1942


1943


1944


Johannes Vilhelm Jensen (Denmark)


1945


Gabriela Mistral (Chili)


1946


Hermann Hesse (Swiss-Jerman)


1947


André Paul Guillaume Gide (Prancis)


1948


Thomas Stearns Eliot (Amerika Serikat)


1949


William Cuthbert Faulkner (AS)


1950


Earl Bertrand Arthur William Russell (Inggris)


1951


Pär Fabian Lagerkvist (Swedia)


1952


François Charles Mauriac (Prancis)


1953


Winston Churchill (Inggris)


1954


Ernest Miller Hemingway (AS)


1955


Halldór Kiljan Laxness (Islandia)


1956


Juan Ramón Jiménez Mantecón (Spanyol)


1957


Albert Camus (Prancis)


1958


Boris Leonidovich Pasternak (Борис Леонидович Пастернак) (Uni Soviet)


1959


Salvatore Quasimodo (Italia)


1960


Saint-John Perse (Prancis)


1961


Ivo Andrić (Yugoslavia)


1962


John Ernst Steinbeck (AS)


1963


Giorgos Seferis (Yunani)


1964


Jean-Paul Sartre (Prancis), menolak


1965


Mikhail Aleksandrovich Sholokhov (Михаил Александрович Шолохов) (Uni Soviet)


1966


Shmuel Yosef Agnon (Israel) dan Nelly Sachs (Jerman-Swedia)


1967


Miguel Ángel Asturias Rosales (Guatemala)


1968


Kawabata Yasunari (Jepang)


1969


Samuel Barclay Beckett (Irlandia)


1970


Aleksandr Isayevich Solzhenitsyn (Алекса́ндр Иса́евич Солжени́цын) (Uni Soviet)


1971


Pablo Neruda (Chili)


1972


Heinrich Theodor Böll (Jerman Barat)


1973


Patrick Victor Martindale White (Australia)


1974


Eyvind Johnson (Swedia) dan Harry Edmund Martinson (Swedia)


1975


Eugenio Montale (Italia)


1976


Saul Bellow (Kanada/AS)


1977


Vicente Pío Marcelino Cirilo Aleixandre y Merlo (Spanyol)


1978


Isaac Bashevis Singer (AS)


1979


Odysseas Elytis (Yunani)


1980


Czesław Miłosz (Polandia/AS)


1981


Elias Canetti (Inggris)


1982


Gabriel García Márquez (Kolombia)


1983


Sir William Gerald Golding (Inggris)


1984


Jaroslav Seifert (Cekoslowakia)


1985


Claude Simon (Prancis)


1986


Akinwande Oluwole Soyinka (Nigeria)


1987


Joseph Brodsky (Rusia/AS)


1988


Naguib Mahfouz (Mesir)


1989


Camilo José Cela Trulock (Spanyol)


1990


Octavio Paz Lozano (Meksiko)


1991


Nadine Gordimer (AfSel)


1992


Derek Alton Walcott (St. Lucia)


1993


Toni Morrison (AS)


1994


Kenzaburo Oe (大江 健三郎)(Jepang)


1995


Seamus Justin Heaney (Irlandia)


1996


Wisława Szymborska (Polandia)


1997


Dario Fo (Italia)


1998


José de Sousa Saramago (Portugal)


1999


Günter Grass (Jerman)


2000


Gao Xingjian (高行健) (Prancis)


2001


Vidiadhar Surajprasad Naipaul (Inggris)


2002


Imre Kertész (Hongaria)


2003


John Maxwell Coetzee (Afrika Selatan)


2004


Elfriede Jelinek (Austria)


2005


Harold Pinter (Inggris)


2006


Ferit Orhan Pamuk (Turki)


2007


Doris Lessing (Inggris)


2008


Jean-Marie Gustave Le Clézio (Prancis)


2009


Herta Müller (Jerman)


2010


Mario Vargas Llosa (Peru)

Lomba Cipta Puisi (Jilid I) dengan Tema “Kepahlawanan”

Semuanya berawal dari keprihatinan melihat tidak adanya sebuah buku yang berisi kumpulan puisi anak-anak, yang ditulis oleh benar-benar seorang anak, dari sudut pandang anak-anak meski dengan tema yang actual dan factual. Pertemuan tidak sengaja dengan seorang Triyanto Tiwikromo, yang kemudian memunculkan gagasan untuk mencari dan mengumpulkan 100 buah puisi dari 100 anak-anak, dengan beragam tema.

Awalnya, muncul konsep untuk door to door, keluar masuk SD dan SMP, untuk menemukan puisi itu. Tapi hal itu dianggap tidak bisa obyektif, mengingat keterbatasan waktu dari kita sehingga ditakutkan tidak semua sekolah yang bisa didatangi dalam proses pencarian itu. Keterbatasan waktu itu juga yang sangat ditakutkan tidak bisa secara jitu menemukan puisi-puisi yang benar-benar khas anak-anak, dengan bahasa anak, dan sudut pandang anak, yang diharapkan masih sangat murni dan lugu.

Sebuah lomba cipta puisi kemudian digagas dan dipastikan akan diadakan. Lomba itu sendiri sengaja diadakan berjilid (baca : berseri) dengan tema yang beragam, agar semua anak yang senang, gemar dan punya bakat menulis, bisa berpartisipasi. Setiap seri lomba, akan dipilih 10 puisi terbaik, dan begitu seterusnya sampai terkumpul 100 buah puisi. Dalam setiap serinya, peserta yang gagal di seri sebelumnya dipersilahkan untuk terus berlatih dan berlatih dan kembali ikut. Semuanya, dilandasi oleh keinginan untuk bagaimana memacu anak terus belajar dan belajar memunculkan karya terbaik mereka.

Peserta tidak dipungut biaya pendaftaran
Saya, didik m. Riyadi, yang kebetulan mengelola sebuah perpustakaan pribadi untuk masyarakat, mencoba merintis upaya penerbitan ANTOLOGI PUSI ANAK itu dengan mengadakan sebuah lomba. Dan hanya karena dukungan teman-teman lama, dari kalangan seniman, sastrawan, jurnalis, tokoh masyarakat dan birokrat sajalah yang kemudian memunculkan tekad untuk melaksanakan lomba CIPTA PUISI ANAK itu dengan apa adanya.

Karena, lomba itu sendiri gratis, peserta tidak dipungut uang pendaftaran,
pendekatan dengan banyak pihak, seperti penerbit (yang diharapkan akan menerbitkan buku antologi puisi itu), toko buku dan juga perpustakaan Wilayah dan Kota (untuk hadiah buku perpustakaan sekolah peserta 10 terbaik ), serta institusi perbankan (untuk hadiah tabungan 10 perserta terbaik dalam setiap seri), terpaksa harus dilakukan.

Terimakasih.


Kontak person :
DIDIK M. RIYADI
Pustaka CONAN
Jl. Candi Mutiara Selatan III / 304 RT3 RW6
Pasadena – Kel. Kalipancur – Kec. Ngaliyan – Kota Semarang 50183
Telp. 024. 7609484 – 085 271 8682 56 – 0881 2428 213
Email : suararemaja@yahoo.com


Persyaratan lomba :
- Terbuka untuk anak usia SD, SMP
- Naskah ditulis tangan di kertas HVS dengan maksimal panjang tulisan 2 halaman
- Naskah bisa diantar langsung ke pustaka CONAN, atau lewat email : suararemaja@yahoo.com
- Mencantumkan fotokopi kartu pelajar
- Untuk lomba jilid 1 ini, akan dipilih 10 puisi terbaik sebagai langkah pertama mengumpulkan 100 puisi yang akan dibukukan dalam sebuah ANTOLOGI PUISI ANAK
- Lomba jilid 2,3 4, dan seterusnya yang akan diadakan dengan tema yang berbeda, akan dipakai untuk kembali mencari 10 puisi terbaik yang lainnya, sehingga lengkap terkumpul 100 buah puisi anak.
- Naskah paling lambat diterima 25 AGUSTUS 2010. Pengumuman 10 terbaik akan dilaksanakan 29 Agustus. Penyerahan hadiah akan dilaksanakan 5 September 2010


Kriteria penilaian:
- originalitas ide
- kejujuran berekspresi ( harus benar-benar karya anak, tidak karya orang lain )
- keindahan bahasa
- 10 peserta terbaik akan diundang panitia dalam sebuah tes untuk mencari bukti bahwa puisi tersebut benar-benar karya mereka.
- Kalau kemudian ternyata ditemukan, puisi tersebut dibantu pembikinannya oleh orang lain, maka peserta yang bersangkutan akan di diskualifikasi, dan peserta dibawahnya akan menggantikannya.


Hadiah lomba masing- masing jilid :
- Untuk 10 puisi terbaik: peserta akan mendapatkan hadiah berupa tropi dan Tabungan Pelajar
- Untuk sekolah peserta 10 terbaik, akan mendapatkan hadiah buku bacaan untuk perpustakaan
- Semua perserta akan mendapatkan piagam atas partisipasi mereka dalam lomba mencipta puisi, dan bisa diambil nantinya di sekretariat lomba.

Juri :
- seniman / sastrawan, jurnalis, pendidik, tokoh masyarakat
- keputusan juri mutlak dan tidak dapat diganggu gugat

PENDAFTARAN DAN PENGUMPULAN PUISI :
Sekretariat lomba pustaka CONAN
Jl. Candi Mutiara Selatan III / 304 Pasadena
Kalipancur – Semarang 50183
Telp. 024 - 7609384 / 024 - 70151727 - 085 271 8682 56

Tetes Air di Kamar Jenazah Pak De

Cerpen Sunaryono Basuki Ks
Dimuat di Suara Karya (06/19/2010)

Kami hanya berdua, maksudku tentu bertiga, dengan Pak De Juri yang terbujur di ruang sebelah dengan tetes kran bocor yang terus juga menetes setetes-setetes, sementara aku tak mampu menutup telingaku yang bagaikan dibor tetes itu.

Ingatan buruk terbawa terus sampai tua, padahal peristiwa itu terjadi lima puluh dua tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku SMP dan harus menemani Mas Darmo menunggu jenazah Pak De yang baru saja meninggal karena kecelakaan, di ruang jenazah RSU Kota Malang.

Tidak ada yang dibicarakan. Bagaimana kakak yang sudah bekerja dan hampir menikah bisa menemukan bahan obrolan yang sama denganku yang masih duduk di kelas dua SMP? Karena itu tak sepatah kata pun yang dapat kuingat sampai kini, apa yang sudah kami katakan, kecuali hanya bunyi tetes air yang membuat jiwaku bolong.

Pak De Juri adalah kakak ayahku, juga Pak De dari mas Darmo, yang adalah anak tunggal kakak ayah paling kecil yang meninggal dunia suami istri saat Mas Darmo masih kecil.

Karena itulah, Mas Darmo kemudian bergabung dengan ayah. Dia tinggal di desa Sutojayan, di sebelah selatan kota Malang, masih masuk ke sebelah timur. Kalau tak salah Pak De adalah putera kakek yang tertua sedangkan ayah yang termuda.

Tentang kakek Tahal Karyoutomo aku hampir tak tahu apa-apa, dia hanyalah bayangan buram bagiku, mungkin pernah menengokku sebelum aku berusia enam tahun dan tinggal di pengungsian di desa Bululawang.

Dari Sutojayan, kita bisa melintasi sebuah sungai melalui jembatan lori tebu. Katanya, Kakek Tahal meninggal saat Belanda justru mengadakan operasi di Desa Sutojayan dan ayah yang sudah berada di sana jongkok di depan tungku di dapur yang bercampur dengan kandang sapi, dan syukurlah ayah selamat. Pak De Juri meninggal bukan di desa ini, tetapi di tengah perjalanan antara Desa Gondanglegi dan desa Kepanjen, masih di selatan Malang dan jauh dari Sutojayan. Katanya, kakek bersepeda bersama seorang temannya, entah siapa. Di tengah perjalanan dia menepi dan kencing, demikian pula temannya.

Namun, lantaran sudah selesai lebih dahulu, dia menaiki sepedanya ke arah kota kawedanan Kepanjen dan sebuah mobil menabraknya dari arah Gondanglegi. Untunglah (begitu selalu orang Jawa bilang), masih ada temannya yang membawa berita kematiannya ke rumah di desa dan dari desa, ke rumah kami di Malang.

Jadi demikianlah tetes air menetes tajam di dalam jiwaku sampai kini, dan setiap aku mendengar suara tetes air dari kran yang bocor, rasa takut menyelimuti diriku.

Apalagi, saat dua orang petugas berpakaian putih-putih, entah dokter atau perawat, menggergaji kepala Pak De, bunyi gergaji yang bagaikan membelah papan: greek greek greek, menggergaji tempurung kepalaku. Untuk apa mereka menggergaji tempurung kepala Pak De, aku tak paham, dan kalau tak salah Mas Darmo bilang untuk mencari sebab-sebab mengapa Pak De Juri meninggal dalam kecelakaan itu. "Dia jelas sudah meninggal, kenapa harus dicari sebabnya?" pikirku. "Pastilah Pak De meninggal lantaran dihantam mobil yang melaju dalam kecepatan tinggi. Dia jatuh ke jalan, mungkin terseret beberapa meter di jalan beraspal (kukira jalan itu sudah beraspal, Belanda yang membangunnya pasti), tak ayal lagi, dia meninggal".

Esok harinya, ketika aku hadir di desa Sutojayan saat Pak De dimandikan, aku melihat kepala Pak De yang sudah digundul dengan bekas jahitan di atasnya, sedangkan di dadanya juga ada bekas jahitan.

Alangkah sengsara Pak De, sudah meninggal dunia dan tubuhnya harus diobrak-abrik seperti itu. Apakah petugas yang menggergaji kepalanya perawat, dokter, atau mahasiswa kedokteran yang sedang melakukan praktek?

Tetapi di Malang saat itu tidak ada Fakultas Kedokteran, mungkinkah di Surabaya?

Aku sekarang mengingat pengalamanku sendiri saat hadir di dalam kuliah Anatomi Manusia di ruang praktek kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, saat aku menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi. Katanya, kami harus belajar anatomi manusia, bahkan anatomi perbandingan, histologi, cytologi, embriologi, biologi umum, fisiologi, serta genetika. Agar mengetahui fisik manusia, bukan hanya mempelajari jiwanya yang entah terletak dimana.

Tetapi, praktek anatomi itu hanya kami saksikan, bukan kami lakukan. Sambil menutup hidung dengan sapu tangan lantaran bau formalin yang mengawetkan mayat itu, mayat yang katanya mayat pengemis yang mati tak ketahuan keluarganya dan dipakai praktek untuk menolong yang hidup. Orang mati menolong orang hidup. Kelak aku memasukkan di dalam buku yang kutulis di Ohio State University yang berjudul The Anatomy of Prose Fiction, sebuah cerpen berjudul Going to Jerusalem.

Dalam kisah itu diceritakan saat sebuah kota di Eropa diserang sebuah penyakit aneh, dan para pasien antri berobat pada seorang dokter, dan untuk mengisi waktu mereka bermain dengan menyanyikan lagu, bergerak dan saat lagu berhenti, mencari tempat duduk. Yang tak berhasil mendapat tempat duduk mendapat hukuman. Penyakit misterius tak dapat diungkap sebab musababnya, sampai lelaki yang menjadi tokoh sentralnya meninggal, dan jasadnya diserahkan untuk penelitian, dan hasilnya mampu menolong yang hidup.

Kisah yang menjadi simbol pengorbanan Nabi Isa untuk umat manusia itu sangat disenangi para mahasiswaku yang kebanyakan beragama Hindu.

Tetapi jasad pengemis di laboratorium kedokteran itu tidak memberi apa-apa padaku kecuali rasa jijik melihat tubuhnya yang sudah berwarna coklat lantaran terendam formalin dan sudah berkali-kali dipakai praktek. Dokter yang memberi demo itu menjelaskan mengenai bagian-bagian dalam tubuh manusia yang sudah hancur itu, dan tak secuil pun yang tersisa di dalam pikiranku.

Dan, saat tentamen, teman-teman saling nyontek lantaran dosennya meninggalkan kami di ruang tentamen yang berbentuk teater U yang baris paling akhir lebih tinggi dari baris depan.

Karenanya kami bisa saling lihat takut saling bicara. Karenanya, kami bertukar kode dalam memecahkan soal yang diberikan.

Hasilnya, sejumlah pekerjaan kami ditempel di papan pengumuman fakultas dengan nama kami dilipat. Hasilnya, aku tidak lulus tentamen, walau terus terang aku tidak nyontek, sebab seumur hidupku aku takut nyontek.

Apakah Pak De Juri digergaji dan akhirnya dijahit tubuhnya untuk menyelamatkan manusia seperti dalam cerpen Going to Jerusalem, aku tak tahu.

Orang bilang sejarah berulah kembali. Dua puluh tahun yang lalu, ketika sulung kami Wawan meninggal di dalam sebuah tabrakan maut di desa Sembung, 23 km sebelum masuk kota Denpasar pada dini hari, hari Sabtu 21 Januari 1989, aku berteriak saat dua orang polisi mengabarkan musibah itu.

Istriku juga berteriak-teriak, kemudian aku sadar, aku mengambil air wudhu dan melaksanakan salat, memohon ampun untuk anakku.

Ketika peti jenazah tempat anakku dibaringkan dibuka, seperti sebuah laci besar berpendingin, aku melihat mata anakku tiba-tiba terbuka seolah memberiku salam. Kulihat tubuhnya sudah dimandikan, dan kepalanya penuh jahitan, juga sebagian dari tubuhnya.

Aku mengatupkan matanya kembali. Apakah mereka sudah menggergajinya juga? Apakah ini pengulangan dari peristiwa meninggalnya Pak De Juri yang menimpa keluarga kami? Pak De anak sulung dan Wawan juga anak sulung.

Aku tak tahu, tetapi sejumlah orang yang dianggap "pintar" mengatakan, bahwa kematiannya dijemput oleh para tetua, paling tidak ada tiga orang. Yang seorang dari berasal dari keluarga istriku, mungkin ayah mertuaku, dan yang dua orang berasal dari keluargaku, mungkin pak De Juri dan ayahku, kakek anakku yang meninggal sewindu sebelumnya.

Aku tak tahu, tetapi yang jelas, tetes-tetes air yang mengebor bathinku tak henti-henti mengebor, namun sering kali aku dan istriku merasa bahwa Wawan masih tinggal di rumah, dan menurut Nurul bekas mahasiswaku yang mampu berkomunikasi dengan roh, Wawan memang sering pulang ke rumah.

Aku tak tahu kapan akun benar-benar berjumpa dengannya lagi.***
* Singaraja, Juli-Desember 2009

Hadiah Sastra Pusat Bahasa

Hadiah Sastra Pusat Bahasa adalah hadiah yang diberikan setiap tahun oleh Pusat Bahasa dalam bidang penciptaan sastra untuk pengarang puisi, prosa, dan drama mulai tahun 1989 (awalnya disebut Hadiah Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). Sejak tahun 2001 seiring dengan perubahan nama instansi, namanya menjadi Hadiah Pusat Bahasa. Hadiah itu diberikan sebagai penghargaan penulis karya sastra pada karya-karya terbaru yang diterbitkan pada lima tahun terakhir. Penghargaan itu diberikan oleh Pusat Bahasa untuk meningkatkan kualitas sastra Indonesia murni, merangsang penciptaan karya sastra, dan meningkatkan pemasyarakatan karya sastra. Pemberian penghargaan itu dilakukan seiring dengan penentuan pengarang penerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand di Bangkok.

Panitia penyelenggara adalah Pusat Bahasa. Jumlah juri enam orang, yaitu dari Pusat bahasa, Pakar dari Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, dan sastrawan penerima SEA Write Award sebelumnya.

Kriteria penilaian dalam penghargaan itu, antara lain (1) karya yang dinilai adalah karya asli dan bukan terjemahan, (2) karya yang terbit selama lima tahun terakhir, dan (3) ditulis dalam bahasa Indonesia.

Penyerahan hadiah dilakukan pada bulan Oktober, bertepatan dengan peringatan Bulan Bahasa dan Sastra. Penerima penghargan setiap tahun terdiri atas tiga orang. Berikut Daftar Penerima penghargaan tersebut.


Sumber: Pusat Bahasa